Muhamad Iram Galela yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Maluku Utara kini tengah menghadapi proses hukum terkait penyebaran berita fitnah dan pencemaran nama baik.
Penetapan tersangka ini terkait dengan tuduhan yang dilontarkan Muhamad Irham Galela terhadap pemilik mayoritas perusahaan tambang emas NHM.
Tuduhan yang disebarkan oleh Muhamad Irham Galela melalui berbagai media menyebutkan bahwa pemilik NHM yang selama ini dikenal sangat dermawan oleh masyarakat Maluku Utara, terlibat dalam praktik suap terhadap mantan Gubernur Maluku Utara yang kini tengah menjalani hukuman terkait kasus suap proyek dan jual beli jabatan.
Namun, tuduhan yang disampaikan oleh Irham tidak terbukti kebenarannya khususnya terkait dengan izin tambang yang melibatkan pemilik NHM. Kepolisian telah menetapkan Irham sebagai tersangka atas tindakan penyebaran informasi yang tidak akurat dan merugikan pihak pemilik NHM.
“Penyebaran berita bohong tidak hanya mencemarkan nama baik seseorang, tetapi juga berpotensi memicu ketidakpercayaan publik terhadap individu yang bersangkutan, termasuk pemilik tambang NHM,” ujar Iksan Maujud, kuasa hukum pemilik NHM, Selasa (21/01).
Iksan Maujud juga menegaskan bahwa kliennya tidak terlibat dalam tindakan suap sebagaimana yang dituduhkan oleh Irham Galela.
“Pemilik NHM memiliki kontrak karya yang sah dengan izin yang dikeluarkan langsung oleh negara dan ditandatangani oleh Presiden, sama seperti izin pertambangan lainnya. Tuduhan yang disebarkan oleh Iram jelas tidak berdasar,” jelasnya.
Kuasa Hukum NHM mengapresiasi langkah tegas pihak kepolisian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. “Kami berharap agar proses hukum berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan Irham Galela harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya,” kata Iksan.
Seorang akademisi hukum dari IAIN Ternate, Hasanuddin Hidayat, memberikan pandangan terkait kasus ini. Perspektif hukum positif, Hasanuddin menjelaskan bahwa penyebaran berita bohong yang merugikan individu atau kelompok tertentu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang dapat dikenakan pidana penjara hingga 6 tahun atau denda maksimal 1 miliar rupiah.
“Polisi memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan menindaklanjuti laporan yang diajukan oleh kuasa hukum NHM terkait penyebaran berita hoaks ini. Irham Galela harus menjalani proses hukum yang berlaku,” tegas Hasanuddin.
Ia uga menambahkan, penegakan hukum terhadap penyebaran berita hoaks merupakan langkah penting untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang ada.
“Penyidik yang menetapkan tersangka, menangkap, atau menahan seseorang tentu telah memenuhi unsur-unsur delik yang diatur dalam hukum. Semua tindakan tersebut sah dan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang,” tuturnya.
Sebagai kandidat Doktor Ilmu Hukum, Hasanuddin mengatakan perbedaan antara kebebasan menyampaikan pendapat dan pencemaran nama baik. Menurut dia langkah hukum yang diambil kepada Irham Galela bukanlah bentuk pembungkaman terhadap demokrasi. Namun, upaya untuk menegakkan hukum dan memastikan kebebasan berpendapat tidak disalahgunakan untuk menyebarkan informasi yang tidak benar dan merugikan pihak lain.
“Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menghormati kebenaran dan keadilan. Karena itu, masyarakat harus lebih bijak dalam menyaring informasi yang diterima dan memastikan kebenarannya sebelum menyebarkannya,” pungkas Hasanuddin.
Sekedar informasi Kasus ini menjadi pengingat pentingnya tanggung jawab dalam menyebarkan informasi, serta perlunya menjaga kepercayaan publik terhadap individu maupun institusi. Penegakan hukum terhadap penyebaran berita bohong merupakan langkah krusial untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan memastikan keadilan bagi pihak yang dirugikan. Masyarakat diharapkan semakin bijaksana dalam menerima dan menyebarkan informasi agar tidak terjebak dalam arus disinformasi yang dapat merugikan banyak pihak.
Penulis: RilisĀ