Aktivitas PT Antam Cemari Sungai dan Pesisir Pantai hingga Merusak Ekosistem Mangrove

kondisi terkini pesisir Moronopo yang sudah dipenuhi lumpur. Foto: Istimewa

MABA – Aktivitas tambang PT Aneka Tambang (ANTAM) di site Moronopo, Desa Maba Pura, Kecamatan Kota Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, telah mencemari sungai dan pesisir pantai, hingga merusak ekosistem mangrove.

 Melalui siaran pers yang diterima zonamalut,id disebutkan, pencemaran lumpur tambang ini, bukan yang pertama, tapi sudah sering terjadi, sejak ANTAM mulai masuk dan beroperasi pada 2006 lalu.

“Dulunya, kawasan Moronopo ini, adalah tempat warga Maba dan Buli menangkap ikan. Di sini ikan bertelur. Para nelayan pun menjadikan tempat ini untuk menambatkan perahu, juga tempat transit,”kata Ketua BPH AMAN Maluku Utara, Udin Abubakar

Udin bilang, ketika ANTAM beroperasi, semua kemudian berubah. Lahan pertanian atau perkebunan di lereng gunung beralih-fungsi menjadi wilayah tambang.

Kawasan operasi PT Aneka Tambang Site Manopo, Desa Maba Pura,Halmahera Timur. Foto: JATAM-AMAN
Kawasan operasi PT Aneka Tambang Site Manopo, Desa Maba Pura,Halmahera Timur. Foto: JATAM-AMAN

“Dan musim hujan tiba, limbah tambang dengan gampang mengalir ke wilayah pesisir, bahkan menembus laut, wilayah tangkap nelayan,”ujarnya

Jejak Buruk ANTAM

Aktivitas penambangan ANTAM di Maluku Utara, sesungguhnya telah berlangsung lama. Pada 1979 hingga 2004, misalnya, PT ANTAM telah mengobrak-abrik Pulau Gebe. Sebagian besar lahan perkebunan yang sudah digarap warga beralih-fungsi menjadi konsesi tambang.

 Selama sekitar 25 tahun mengeruk perut pulau, sejumlah kerusakan pun terjadi, mulai dari sumber air warga hilang dan terpaksa membeli air bersih, laut tercemar, terumbu karang, mangrove, kopra, pala, cengkeh, dan sagu juga ikut lenyap. Adapun reklamasi dan pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR) pihak perusahaan, tak cukup mampu memulihkan kerusakan sosial-ekologis, termasuk perubahan pola produksi dan konsumsi warga yang kadung bergantung pada ekonomi tambang.

kondisi terkini pesisir Moronopo yang sudah dipenuhi lumpur. Foto: Istimewa

Ironisnya, ketika ANTAM memutuskan berhenti dan keluar dari pulau Gebe, alih-alih ada upaya lanjutan pemulihan ekonomi, sosial, dan ekologis, pemerintah daerah Halmahera Tengah justru menerbitkan 12 izin tambang baru kepada sejumlah perusahaan. Hal ini tentu saja memperparah kerusakan bentang alam, berikut ruang produksi warga Pulau Gebe.

 Lepas dari Pulau Gebe, jejak buruk ANTAM di Maluku Utara juga terjadi di Pulau Gee. Pulau kecil yang hanya seluas 171 hektar ini, dikeruk ANTAM sejak tahun 2003, melalui PT Minerina Bhakti, anak usaha ANTAM. Akibatnya, pulau yang dulunya rimbun, tempat cadangan pangan warga, dan menjadi tempat singgah nelayan saat melaut, tandus. Tak ada reklamasi apapun, dibiarkan begitu saja.

ANTAM lalu berpaling ke Pulau Pakal. , bersebelahan dengan Pulau Gee. ANTAM mulai menambang nikel di pulau seluas 709 hektar ini sejak 2010. Di saat bersamaan, ANTAM juga menambang di daratan Halmahera Timur, tepatnya bagian utara Desa Buli, Kecamatan Maba.

Aktivitas tambang ANTAM di Pulau Pakal dan daratan Halmahera Timur itu, merupakan bagian dari konsesi tambang yang sama, melalui izin tambang yang diterbitkan Kementerian ESDM pada tahun 2000, dengan luas konsesi mencapai 39.040 hektar. Selain menambang nikel, ANTAM juga membangun tempat pemurnian (smelter) nikel, berlokasi di Maba Pura, tepatnya di Tanjung Buli.

kondisi terkini pesisir Moronopo yang sudah dipenuhi lumpur. Foto: Istimewa

Aktivitas ANTAM yang demikian ekspansif itu, termasuk sejumlah perusahaan tambang lainnya di Halmahera Timur, telah membuat sekujur tubuh Halmahera dan pulau kecil di sekitarnya sekarat.

Penambangan telah membongkar isi perut pulau, sehingga kerusakannya tak hanya wilayah daratan (ruang produksi pangan dan air), tapi juga ruang laut (wilayah tangkap nelayan) yang tercemar material tambang.

Kejayaan pala, kelapa (kopra), sagu, dan cengkeh, yang sebelumnya menjadi tulang punggung ekonomi warga nyaris lenyap. Warga kemudian dibuat bergantung pada ekonomi tambang yang rapuh dan sesaat, tak menjamin keberlanjutan dan masa depan anak cucu.

 Demikian juga dengan wilayah pesisir dan laut. Jika sebelumnya para nelayan di Tanjung Buli, Pulau Pakal, dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya dengan muda mendapatkan ikan, kini semakin susah. Hal ini disebabkan oleh pencemaran laut akibat material tambang dan lalu lalang kapal-kapal dan tongkang pengangkut ore. Penelitian Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 menguatkan bukti pencemaran itu. Para peneliti menemukan biological oxygen demand dan chemical oxygen demand – indikator pencemaran laut – di Laut Buli sebesar 23-37 miligram per liter dan 27-75 miligram per liter. Jauh di ambang batas laut normal.

Penelitian itu menyebutkan penambangan terbuka dengan mengupas gunung, secara bertahap mengubah bentang alam Tanjung Buli. Erosi dan sedimentasi laut adalah ancaman yang merusak ekosistem, jika tak segera direklamasi.   

Butuh Tindakan Nyata

 Bukan Wacana Perluasan perusakan wilayah daratan, pesisir, dan laut yang terus berlangsung di Halmahera Timur, jika terus dibiarkan, akan memperbesar risiko bagi keselamatan warga dan ruang produksi pangan dan air. Penambangan yang karakternya rakus lahan dan rakus air, daya rusaknya tak hanya terjadi di situs-situs tambang, tetapi juga wilayah lain di sekitar konsesi tambang, dan wilayah hilir.

Kompleksitas daya rusak itu, ditanggung oleh warga, baik yang memutuskan untuk bertahan atas ruang hidupnya, maupun bagi sebagian warga yang bekerja di perusahaan tambang. Daya rusak itu tentu saja berlangsung lama, bahkan melampaui masa operasi tambang itu sendiri.

 Dengan demikian, menyelamatkan ruang hidup warga dan ekosistem, baik di darat, pesisir, dan laut yang tersisa menjadi penting yaitu, yang pertama, pemerintah pusat dan daerah didesak segera membuat kebijakan yang bermuara pada penyelamatan dan perlindungan atas ruang hidup warga yang tersisa, mulai dari lahan pangan dan air, kawasan hutan, serta pesisir dan laut sebagai wilayah tangkap nelayan.

kondisi terkini pesisir Moronopo yang sudah dipenuhi lumpur. Foto: Istimewa

 Kedua, hentikan sementara seluruh operasi tambang di daratan, pesisir, dan pulau kecil di Halmahera Timur, lakukan audit dan evaluasi secara menyeluruh, mulai dari kebijakan perizinan hingga aktivitas tambang di tapak.

 Ketiga, segera rehabilitasi segala kerusakan, baik di daratan Halmahera Timur, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang sudah rusak akibat operasi tambang dan yang keempat lakukan penegakan hukum yang tegas atas seluruh tindak kejahatan lingkungan yang dilakukan perusahaan tambang.


Penulis: Tim

Editor: Zulfikar Saman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *