Oleh: Asghar Saleh
Wajah Wilem Parura terkejut saat membaca sebuah dokumen. Berlembar kertas itu telah berwarna kuning dengan banyak noda hitam di tepiannya. Usianya lumayan uzur namun deretan kalimat yang tercetak masih terang untuk dibaca. Netra perwira menengah Angkatan Darat ini fokus menyimak alasan mengapa Maluku bagian Utara sejak awal dipenuhi pergolakan untuk jadi daerah otonom sendiri. Lepas dari Maluku. Ada nama beberapa seniornya yang tertera di dokumen itu. Salah satunya adalah Letnan Dua Jacub Mansur.
Cerita ini saya peroleh dari Syaiful Bahri Ruray, politisi Golkar yang saat itu bertemu langsung dengan Wilem. Syaiful membawa dokumen perjuangan propinsi Maluku Utara yang didapatnya dari tangan Djumati Hamid, salah satu tokoh perjuangan tahun 1967. Berbekal dokumen penting itu, Wilem yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel dan jadi Ketua Fraksi ABRI di DPRD Kabupaten Maluku Utara, meyakin bahwa sejak awal, tentara ternyata terlibat dalam berbagai dinamika politik yang berisi tuntutan rakyat agar bisa mengatur daerahnya sendiri.
Karena itu, saat membacakan sikap fraksinya dalam paripurna DPRD menyikapi hasil kerja panitia khusus – yang dibentuk dan membahas tuntutan mahasiswa terkait pemekaran wilayah – Wilem secara terbuka memberikan dukungan politik. Ia bahkan menyebut nama Jakob Mansyur lengkap dengan “Nomor Register Pusat” TNI sebagai salah satu aktor utama perjuangan tahun-tahun sebelumnya. “Fraksi ABRi siap berdiri bersama rakyat Moloku Kie Raha dalam perjuangan ini”.
Usai paripurna yang berujung rekomendasi DPRD kabupaten Maluku Utara, Fraksi ABRI secara tertutup menyampaikan pendapat politik mereka ke para “Senior” yang ada di kawasan Karang Panjang Ambon, tempat DPRD Maluku berkantor. Surat tembusan juga dikirimkan ke Makodam Pattimura. Menurut Syaiful, semua dokumen diberikan juga kepada pimpinan tentara di Markas Besar Cilangkap yang kala itu diterima asisten teritorial ABRI, Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Sudi Silalahi. Di Departemen Pertahanan dan Keamanan, dokumen diberikan secara langsung kepada asisten bidang politik, Albert Paruntu.
Tujuannya agar semua gerakan perjuangan propinsi “Diketahui” oleh tentara sehingga tidak menimbulkan friksi yang berpotensi menghalangi secara politis maupun militer. Apalagi gerakan untuk meminta propinsi sendiri berlangsung kian masif di Ternate dan Halmahera Tengah.
Hari hari itu, revolusi seperti tumpah ruah di benak semua orang. Di jalanan, di ruang kuliah, di angkutan kota, di pasar, di sekolah, di kantor-kantor pemerintah, di mesjid dan tempat ibadah lainnya – orang ramai bicara tentang masa depan yang berubah. Yang berubah butuh campur tangan banyak pihak. Yang berteriak di jalanan, yang berpikir dan menarasikan tuntutan, yang membangun komunikasi, yang meyakinkan kekuasaan, semuanya saling berkelindan. Karena itu, frasa ABRI yang “Berdiri Bersama Rakyat” sebagaimana disebut Wilem jadi semacam katalis revolusi.
Dalam “Aksi Massa” yang terbit tahun 1926, Tan Malaka menyebut revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kata Tan Malaka ; “revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan”. Ia lahir untuk menisbikan wacana. Hendak meruntuhkan sebuah bangunan ototarian. Wacana di sini bukan sekedar bahasa dan lambang, tetapi Ia dibangun untuk mendukung kekuasaan. Begitu juga sebaliknya, kekuasaanlah yang menjadikan sebuah wacana jadi tak terbatas. Puluhan tahun, gema untuk menjadi daerah otonom sendiri tenggelam dalam cengkraman kekuasaan yang tak ingin ada desentralisasi.
Dorojatun Kuntjara Jakti menyebut sejak awal Orde Baru, desentralisasi dan otonomi jadi bandul yang ditarik ulur untuk memperkuat hegemoni kekuasaan. Keduanya terkadang dibutuhkan untuk meredam tuntutan daerah yang memiliki sumber daya alam berlimpah dan sejarah panjang tribalisme. Tetapi di sisi lain, Orde Baru secara tegas juga menjadikan desentralisasi dan otonomi sebagai senjata untuk menegasi persatuan Indonesia. Wacana memberikan kewenangan ke daerah disebut berpotensi melahirkan instabilitas dan bahkan dapat memicu kembali tumbuhnya gerakan kedaerahan.
Karena itu, politik kekuasan Orde Baru menutup rapat pintu desentralisasi. Jika ada yang melawan, akan dibungkam dengan kekuatan militer. Mereka lupa jika Maluku bagian Utara memiliki pondasi sejarah yang gemilang sebagai negara maritim besar yang menguasai jalur perdagangan dunia di abad pertengahan. Ketika Indonesia merdeka, para Sultan dan “Bala”nya tanpa sungkan menyerahkan wilayah dan semua kewenangannya untuk menjadikan negeri ini utuh dari Sabang hingga Merauke.
Jika membaca ulang sejarah, keinginan untuk mengurus diri sendiri sebenarnya bukan sekedar urusan luasnya rentang kendali dan kesejahteraan tetapi lebih pada “Pemulihan Kekuasaan” yang terpinggirkan. Ada semacam heteropia yang berkecambah. Dulu, Ambon adalah “bawahan” dari Ternate yang kemudian beralih status jadi “pimpinan”. Tahun 1950, Indonesia yang masih muda dibagi dalam sepuluh propinsi. Maluku jadi propinsi sendiri membawahi Maluku Utara dan Mr. Latuharhary ditunjuk sebagai Gubernur. Mengapa propinsi harus di Ambon dan Gubernurnya juga orang Ambon adalah pertanyaan yang muncul di benak para tokoh nasionalis di Ternate sebagaimana diungkap oleh Safrudin Amin, dosen antrpologi sosial Universitas Khairun dalam makalah ; “Tergerusnya Kesultanan Ternate dari Pusat Ke Pinggiran Kekuasaan”.
Keputusan Jakarta menjadikan Ambon sebagai ibu negeri jadi semacam déjà vu – tahun 1605 saat Belanda sukses mengusir Portugis dari Ambon, kota itu secara perlahan berubah. Sebelumnya Ambon hanya pelabuhan persinggahan untuk mencapai Ternate tetapi kemudian berkembang jadi pusat perdagangan dan politik. Belanda menarik Gubernur Jenderalnya yang semula berkedudukan di Ternate dan menempatnya di Ambon. Posisi Ternate diturunkan dari Keresidenan menjadi “Afdeling” dan menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Ambon.
Akumulasi kekecewaan ini sebenarnya telah disampaikan secara terbuka oleh para nasionalis ketika Wakil Presiden Mohammad Hatta berkunjung ke Ternate tahun 1950. Hatta mendukung tuntutan itu tetapi tak ada tindak lanjutnya. Tahun 1957, sejumlah tokoh kembali menyuarakan tuntutan untuk jadi propinsi sendiri. Karena tak seirama dengan kepentingan Ambon, belakangan gerakan ini dibungkam dengan operasi militer yang dipimpin Herman Pieterz. Para tokoh yang berjuang itu “Dituding” berafliasi dengan gerakan Permesta di Sulawesi. Mereka ditangkap dan dipenjara. Banyak yang merengang nyawa. Padahal jika mau jujur, Permesta muncul karena ketidakpuasan terhadap cara mengelola Indonesia oleh elit Jkarta yang sangat sering mengabaikan kepentingan pembangunan di daerah.
Gubernur Sulawesi Selatan kala itu, Andi Pangerang Pettarani mendesak pemerintah pusat agar memberikan otonomi yang lebih luas kepada tiap daerah di Indonesia Timur. Ia juga meminta pembagian pendapatan yang lebih banyak untuk membangun infrastruktur di daerah. Sikap Gubernur didukung petinggi tentara di Makassar yang menilai tonomi dan pembagian pendapatan yang besar untuk daerah akan mempercepat perbaikan kehidupan masyarakat. Dalam pertemuan dengan pimpinan TNI-AD, sejumlah perwira termasuk Ventje Sumual ikut mendesak reformasi struktural AD dengan membentuk sebuah Komando Daerah Militer (KDM) yang berkedudukan di Makassar.
Jakarta tak terlalu menanggapi tuntutan ini hingga akhirnya proklamasi “Perjuangan Semesta” diumumkan pada 2 Maret 1957. Banyak tokoh sipil dan militer ikut mendukung. Namun gerakan ini tak bulat. Beberapa waktu setelah diumumkan, sebagian tokoh Permesta berbalik arah mendukung Jakarta. Yang kadung kecewa tetap melanjutkan perjuangan bahkan dengan pemberontakan bersenjata. Amerika ikut bermain dengan membantu persenjataan dan pesawat tempur. Bukti keterlibatan Amerika adalah tertembaknya Alan Pope, seorang pilot tempur asal Amerika yang tengah menjalankan misi pengeboman dengan pesawat B-26 di udara Ambon bersama operator radio Harry Rantung.
Gagasan dasar “Permesta” yang menuntut otonomi meluas hingga ke Maluku Utara. Operasi militer Permesta bahkan sanggup merebut basis pertahanan udara di Morotai dan Jailolo. Namun pemberontakan ini pada akhirnya ditumbangkan. Keretakan di internal komando Permesta memperlemah gerakan. Tertembaknya Pope juga membuat Amerika menarik diri. Jakarta menggelar tak kurang enam operasi militer besar-besaran mulai dari operasi Nunusaku, Mena, Sapta Marga. Mega, Nuri hingga Jakarta Spesial untuk membungkam Permesta.
Lalu mengapa belakangan tentara seperti berbalik memberi ruang untuk otonomisasi?. Menurut saya ada dua alasan yang terbilang strategis, Pertama, geliat reformasi tak hanya mengganti kekuasaan tetapi juga merevitalisasi kembali fungsi tentara. Mereka tak lagi bermain politik tetapi lebih fokus pada upaya pertahanan negara. Pada lanskap ini, kedekatan dengan rakyat melalui komando teritorial yang lebih humanis menjadi titik balik pengabdian. Kedua, doktrin pertahanan untuk wilayah perbatasan atau daerah yang rawan infiltrasi asing yang selama ini menggunakan pendekatan militer tak lagi sejalan dengan kebutuhan nasional. Agar rakyat merasa jadi bagian dari Indonesia dan jadi kekuatan utama dalam membela negara, maka pendekatan kesejahteraan melalui berbagai program pembangunan menjadi lebih penting. Desentralisasi jadi alternatif yang rasional.
Kiprah militer di balik sukses pemekaran propinsi Maluku Utara selama ini jadi “Untold Story”. Sejarahnya tak banyak dipublikasi padahal kontribusinya sangat berpengaruh dalam merubah kebijakan Jakarta. Sejarah menurut Fernand Braudel, sejarawan Perancis yang menulis buku “Laut Mediterania” harus menghadirkan “total history”. Kajian penulisan sejarah yang menggunakan pendekatan multi dimensional – dengan memasukkan aspek ekonomi, sosial dan lainnya. Gaya penulisan sejarah Braudel jadi semacam antithesa terhadap proses historiografi yang selama ini terjebak pada cerita seputar tokoh besar dan bersifat politis. Sejarah bukan peristiwa tunggal. Berbekal pemikiran Braudel, kita selayaknya berkhidmat juga untuk para serdadu – patriot bangsa yang telah berdiri bersama rakyat dan menjadikan propinsi ini ada.(*)