OPINI  

Mantan Aktivis dan Lakon Kucing Basah

Oleh: M. Nofrizal Amir, Ketua Jong Halmahera 1914

Entah kesan apa yang mengendap pada Asdian punya kepala, sampai-sampai pasca RDP bersama mitra komisi III, Asdian begitu membara di media. PLT Kadis Pendidikan, BPBD dan Kesehatan, nampaknya harus berhati-hati dengan Asdian, jika tak mau ditelan hidup-hidup ketika bersua di meja hearing.

Sikap Asdian mengkritisi basis pengetahuan PLT Kadis Pendidikan, Harun Kasim, terkait hal ihwal merger sekolah, memantik pro – kontra. Seorang Hikler Murary, kaki tangan pemerintah, tampil membusung dada. Hikler membela Harun dengan memuji Bupati. Diksinya bukan main sedap di telinga.

Biasalah, itu wujud rasa syukur, sekaligus buah dari kesadaran eksistensial. Rasa syukur, karena diantara ratusan orang, Hikler terpilih. Sedang kesadaran eksistensial, karena Hikler tahu diri, ia bawahan. Begitupun temannya Asdian di DPRD, Tamin. Pria yang satu ini, tampil bak protagonis di panggung DPRD.

Ia kerap bersitegang dengan pimpinan DPRD, perihal penegakan aturan. Ia tak segan-segan mengamuk, sambil mondar-mandir tak jelas, mengelilingi arena rapat paripurna, bahkan sampai merusak microphone. Tamin patut digelari primus inter pares – yang terbaik di antara yang terbaik. Tamin konsisten, Tamin determinatif.

Akan tetapi dalam konteks subjek yang dikritik, Tamin dan Asdian sedikit berbeda. Tamin lebih suka mempolemikkan kebijakan pimpinan DPRD, ketimbang pejabat di birokrasi, tak seperti yang diperankan Asdian. Apalagi sejak mengambil alih ketua Bapemperda, Tamin tampil beringas, tak kenal ampun dalam mengkritik si-Nyongker alias Ketua DPRD. Walau ujung-ujungnya berdamai dan beralasan, “ah itu cuma mis-komunikasi”.

Adapun deretan nama lain, seperti Joko, Dasril dan Fandi, ketiganya masih kelihatan santun pada kekuasaan. Tidak seperti zaman kuliah dulu, saat masih berambut gondrong dengan kutu dan triliunan ketombe yang menempel di kulit kepala.

Sebut saja Dasril yang pernah di drop out dari salah satu kampus di Jogja, akibat berani-beraninya melawan kebijakan rektor. Begitupun Fandi saat masih berkuliah di STAIN Ternate.

Kekritisannya pada kekuasaan Thaib Armaiyn, perihal nasib sebagian pengungsi Tobelo, buatnya dipukuli, dibuang ke laut dan puncaknya di bui. Sedangkan Joko, lebih berbahaya. Sekda Syahril, pernah merasakan bagaimana pusingnya bertengkar dengan Joko, mantan aktivis Semahabar Koter.

Namun saat sudah di DPRD, tak tahu kenapa, beda sekali. Nyaris seperti kucing basah, tak konsisten dan palsu. Orang-orang ini, sepertinya sudah lupa jalan pulang. Pulang pada kekritisan yang pernah dilakoninya, pulang pada kepekaan yang pernah menempanya.

Anggap saja DPRD hanya tersisa Tamin dan Asdian. Sedang yang lainnya, cuma Tuhan saja yang tahu. Kedua orang ini, telah menancapkan satu standar bagus untuk seorang legislator. Sebab dari keduanya, ruang publik jadi berisik. Kritik lalu lalang, nyaris tiada henti, tanpa spasi. Sekalipun menjengkelkan bagi kebanyakan penyembah kekuasaan, namun keduanya enteng saja, sebab ya, begitulah dinamikanya.

Walau disadari, sedari awal, dialektika seperti ini, jarang-jarang terjadi. Ruang publik, biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa. DPRD, aktivis dan kelompok kepentingan lainnya, tertib dan manut-manut saja tanpa gerakan tambahan. Kalaupun ada, ah itu hanya tahi-tahi arus belaka. Media massa pun begitu. Mainnya masih sekedar berita berjenis stright, belum berani eksplor ke wilayah indepth, terlebih investigatif.

Makanya, sudah benar apa yang dilakoni Tamin dan Asdian. Status ontologik DPRD memang mesti begitu. Memata-matai dan menakut-nakuti kekuasaan, agar tak larut dalam kuasa yang menghanyutkan. Rocky Gerung menyebut, DPR itu Watchdog alias Anjing Pengawas. Matanya harus menyala, tajam instingnya, sensitif dan bersuara besar, ketika tuannya si-rakyat dirugikan, bukan berlakon layaknya Kucing Basah. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *