Peran Kades Dalam Mencegah Sengketa Hak ‘Atas’ Tanah di Halmahera Utara dan Pulau Morotai

Oleh: Hendra Wahyudi, S.H. (Hakim pada Pengadilan Negeri Tobelo)

Fungsi tanah sangat penting dan diutamakan sebab mempunyai arti tersendiri, karena tanah merupakan modal bagi kehidupan suatu keluarga.

Manusia pun merasa aman untuk tinggal di atas tanah dengan menjadikannya rumah atau bangunan tempat usaha, sebagai tempat bercocok tanam, dan juga sebagai harta kekayaan (Adrian Sutedi, 2012: 276).

Bahkan dalam sudut pandang yang lebih luas, tanah dengan segala keterikatannya mengandung banyak dimensi, baik segi ekonomi, politis, kapital budaya, hingga dimensi sakral.

Sangat pentingnya tanah, sehingga tidak heran apabila masalah pertanahan merupakan masalah yang seringkali terjadi dan penyelesaiannya kadang berakhir dengan suatu sengketa.

Begitupun dengan yang terjadi di Pengadilan Negeri Tobelo, dengan wilayah hukum (yurisdiksi) terdiri dari Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Pulau Morotai.

Selama 3 (tiga) tahun terakhir sejak 2020 (data hingga Semester I Tahun 2023), total sebanyak lebih dari 70 masalah tanah diperkarakan, dengan sebagian besar diantaranya adalah berkaitan dengan perselisihan mengenai hak atas tanah.

Bahkan perkara-perkara tersebut diperjuangkan oleh para pihak, hingga proses upaya hukum kasasi ataupun Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung (MA).

Guna mencegah timbulnya perkara atau sengketa hak atas tanah di masyarakat, diperlukan keterlibatan berbagai pihak.

Salah satu yang vital adalah Kepala Desa sebagai pimpinan tertinggi dalam pemerintahan di desa, yang memiliki wewenang untuk membina kehidupan masyarakat desa serta membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa sesuai amanat undang-undang.

Apalagi, saat ini pun MA dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sedang menggagas untuk memberdayakan Kepala Desa sebagai mediator/hakim perdamaian desa.

Peran serta Kepala Desa sebagai Non Litigator Peacemaker, diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan di luar pengadilan sehingga dapat menyeleksi dan mengikis perkara yang masuk di pengadilan.

Fakta yang muncul dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tobelo pun menunjukkan beberapa kali permasalahan, dan sengketa hak atas tanah khususnya yang belum bersertifikat berawal dikarenakan kurang teliti dan hati-hatinya Kepala Desa dalam melaksanakan tugas.

Misalnya, pernah terjadi dalam suatu peralihan hak atas tanah, Kepala Desa tidak memastikan kebenaran data tanah yang diperjualbelikan oleh warganya.

Atas dasar kepercayaan, Kepala Desa turut menandatangani surat keterangan peralihan hak atas tanah yang diajukan tanpa mengecek secara langsung mengenai luas dan batas-batas tanah yang menjadi objek jual beli.

Padahal, data tanah yang tertulis tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan.

Pernah terjadi pula, dalam satu objek tanah yang sama diterbitkan dua surat keterangan kepemilikan tanah dengan dua nama yang berbeda.

Kasus ini bisa terjadi karena pada saat terjadinya pergantian Kepala Desa, pejabat yang baru kembali mengeluarkan surat keterangan kepemilikan di atas tanah yang sama tanpa meneliti terlebih dahulu. Apakah terhadap objek tersebut pernah dikeluarkan surat kepemilikan.

Selain itu, muncul juga di dalam persidangan bahwa suatu peralihan hak atas tanah belum bersertifikat berupa jual beli dilakukan tanpa melibatkan atau mengetahui Kepala Desa.

Padahal, sesuai konsepsi hukum adat yang dianut dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, jual beli tanah merupakan perbuatan pemindahan hak yang sifatnya tunai, riil, dan terang.

Sifat riil berarti bahwa jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual beli di muka Kepala Desa serta penerimaan harga oleh penjual.

Dan sifat terang dalam arti pada saat dilakukannya jual beli maka setidaknya disaksikan oleh Kepala Desa, karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui hukum, dan kehadiran Kepala Desa mewakili warga masyarakat desa tersebut.

Analisis Penyebab, menganalisa fakta yang terjadi, beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya sengketa hak atas tanah khususnya yang belum bersertifikat tersebut yaitu, pertama, dikarenakan tidak adanya pencatatan mengenai kepemilikan atau penguasaan tanah di kantor desa.

Beberapa Kepala Desa yang dihadirkan menjadi saksi ataupun ditarik sebagai pihak di persidangan menerangkan, bahwa tidak memiliki buku desa yang menjelaskan mengenai kepemilikan atau penguasaan terhadap tanah-tanah di desa yang dipimpinnya.

Hal ini berbeda dengan di beberapa daerah lain dengan adanya buku letter c ataupun girik.

Kedua, yaitu dikarenakan administrasi yang kurang baik atas produk hukum yang dikeluarkan oleh Kepala Desa. Seringkali terungkap di persidangan, desa tidak memiliki arsip atau salinan atas produk-produk hukum yang pernah dikeluarkan berkaitan dengan tanah.

Seperti, misalnya dokumen surat keterangan kepemilikan tanah ataupun surat keterangan peralihan hak atas tanah. Sehingga tidak aneh apabila terbit dokumen ganda dengan nama pemilik yang berbeda terhadap suatu objek atau bidang tanah.

Ketiga, faktor yang juga menjadi sebab perselisihan tanah di Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Pulau Morotai yaitu kurangnya ketelitian dan mudah percayanya Kepala Desa atas permohonan yang diajukan oleh warganya.

Berpikir bahwa masyarakatnya tidak mungkin berbohong atas peralihan hak atas tanah yang diajukan, Kepala Desa tanpa mengecek kebenaran objek tanah langsung menandatangani isi surat.

Padahal, sebagai pihak yang menandatangani surat tersebut, seharusnya Kepala Desa meneliti terlebih dahulu kebenaran materiil dari surat yang dibuat.

Keempat, dari sisi legal culture, masyarakat pun belum memahami dengan baik tata cara peralihan hak atas tanah yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan di persidangan, nampak masyarakat belum sepenuhnya menyadari pentingnya peralihan hak atas tanah yang dilakukan secara sah menurut hukum.

Perbuatan hukum peralihan hak atas tanah yang dilakukan secara tidak sah, menimbulkan potensi timbulnya gugatan dari pihak lain yang juga merasa berhak.

Upaya Preventif, mengutip keterangan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia pada acara malam Anugerah Paralegal Justice Award Tahun 2023 pada awal Juni lalu di Jakarta.

Bahwa Kepala Desa adalah sebagai garda terdepan dalam menyelesaikan perkara secara Non Litigasi atau di luar jalur pengadilan.

Menurut Penulis, lebih jauh bahkan terdapat upaya-upaya preventif yang dapat dilakukan oleh Kepala Desa untuk mencegah timbulnya sengketa hak atas tanah, khususnya yang belum bersertifikat di Kabupaten Halmahera Utara maupun Kabupaten Pulau Morotai.

Pertama, dengan tidak adanya buku tanah di desa, maka Kepala Desa perlu untuk mulai melakukan pendataan atas kepemilikan atau penguasaan tanah-tanah yang belum bersertifikat di wilayahnya. Termasuk, mencatat setiap peralihan hak atas tanah yang terjadi di masyarakat.

Kedua, Kepala Desa beserta perangkatnya wajib mengadministrasikan secara baik dokumen-dokumen yang dikeluarkan berkaitan dengan tanah.

Produk hukum seperti surat keterangan kepemilikan tanah ataupun surat keterangan peralihan hak atas tanah yang ditandatangani oleh Kepala Desa harus diarsipkan dengan baik dan tersedia di kantor desa.

Ini sangat membantu, khususnya bagi pejabat yang melanjutkan estafet kepemimpinan mengingat masa jabatan Kepala Desa yang terbatas. Dengan data yang ada, dokumen ganda yang diterbitkan atas objek yang sama dapat dihindarkan dengan mengecek pada arsip yang tersedia.

Ketiga, sebelum membuat ataupun menandatangani dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tanah, Kepala Desa pun perlu meneliti kebenaran data tanahnya, mulai dari keberadaan, luas, hingga batas-batasnya.

Kepala Desa harus turun secara langsung ke lokasi objek untuk memastikan, bila perlu melibatkan para pemilik batas yang bersebelahan atau pihak lain yang berkepentingan.

Apabila menjadi saksi ataupun ditarik sebagai pihak berperkara di pengadilan mengenai keabsahan dokumen tersebut, Kepala Desa dapat menjelaskan dengan baik mengenai kejadian yang dialami dan dilakukannya sendiri.

Terakhir, sosialisasi mengenai tata cara peralihan dan pendaftaran hak atas tanah kepada masyarakat juga patut digencarkan.

Kepala Desa tidak perlu sendiri dalam melaksanakan kegiatan sosialisasi tersebut. Bekerja sama dengan Kepala Desa dari beberapa wilayah sekitarnya yang berada di satu kecamatan.

Sosialisasi tata cara peralihan dan pendaftaran hak atas tanah dapat dilaksanakan dengan mengikutsertakan Badan Pertanahan ataupun stakeholder terkait selaku narasumber.


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *